Belajar yang Menyenangkan
Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang
bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar
berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar,
melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya,
yaitu pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan
perilaku, dan itu menjadi target dari belajar.
"Belajar lagi, belajar lagi........bosan
ahh.......!", gerutu sebagian besar anak-anak saat disuruh belajar.
Biasanya mereka juga tidak langsung menurut bila disuruh belajar, tapi
berusaha menghindar dengan berbagai alasan. Mereka lebih tertarik untuk
bermain atau menonton Doraemon atau mengikuti berbagai kegiatan lain
daripada harus belajar. Bukan hanya ini saja kesulitan yang dihadapi
orangtua. Sejak pagi hari orangtua sudah cukup dibuat repot saat
membangunkan anak-anak untuk sekolah, tugas yang barangkali lebih sulit
daripada pekerjaan di kantor.
Saya ingat pengalaman saya sendiri semasih kecil
dulu, orangtua harus membangunkan saya berulang kali hingga saya
benar-benar beranjak dari tempat tidur. Karena harus mengantri kamar
mandi, sambil menunggu biasanya saya tertidur lagi. Kadang-kadang dalam
keadaan baru bangun kesadaran masih belum penuh sehingga gerakan pun
serba lambat, sedangkan ibu dalam kepanikannya harus mengurus banyak
hal, seperti menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anak-anak
serta berbagai hal kecil lainnya. Harus diakui bahwa tugas membangunkan
anak untuk sekolah paling banyak menyita waktu, energi, dan emosi
orangtua.
Selain pengamatan umum tentang ketidaksukaan anak
terhadap kegiatan belajar ini, ada pula dukungan survai yang dilakukan
oleh Tony Buzan. Tiga puluh tahun lamanya ia melakukan penelitian yang
berkaitan dengan asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu
ditanyakan kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka
saat mendengar kata "pendidikan" atau "belajar", jawabannya adalah
"membosankan", "ujian", "pekerjaan rumah", "buang-buang waktu",
"hukuman", tidak relevan", "tahanan", 'idih'....., "benci dan takut".
Dapat disimpulkan bahwa belajar dan sekolah bukanlah
hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum cukup
umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka
juga senang menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum
mengerti isinya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak-anak kita ini?
Apakah karena belajar telah menjadi semacam pemaksaan dan beban saat
anak mulai bersekolah sehingga keasyikan mereka menguasai keterampilan
menjadi hilang?
Apakah Belajar Itu?
Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang
bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar
berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar,
melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya,
yaitu pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan
perilaku, dan itu menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang
yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa.
Kita perlu memperluas pemahaman tentang belajar tidak hanya pada
pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga hal-hal yang
menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Ada empat area yang disentuh berkenaan dengan belajar yaitu:
- Citra diri dan perkembangan kepribadian
- Latihan keterampilan hidup
- Cara berpikir atau pola pikir
Kompetensi atau kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik.
Selain itu ada satu area lagi yang menurut
penulis sangat penting yaitu area yang bersifat rohani, yang menyangkut
pengenalan seseorang terhadap Tuhan.
Tony Buzan, seorang psikolog dari Inggris, mengatakan
demikian; "Pada saat seorang anak dilahirkan, ia sebetulnya benar-benar
brilian." Sebab itu, adalah salah jika orangtua beranggapan anaknya
bodoh. Bila ia dikatakan bodoh, maka kemungkinan ia akan menjadi bodoh.
Saran yang diberikan adalah agar anak mendapatkan sebanyak mungkin
latihan fisik yang menggunakan tangan dan kaki seperti merangkak,
memanjat, dan sebagainya. Orangtua perlu memberi kesempatan pada
anak-anak untuk belajar dari kesalaha, yaitu melalui trial and error
(coba-salah). Anak-anak suka bereksperimen, mencipta, dan mencari tahu
cara bekerjanya sesuatu. Mereka juga suka pada tantangan. Sebab itu
penting bagi orangtua untuk memperluas dunia anak mereka, tidak terbatas
hanya di rumah saja.
Anak-anak juga cenderung bertanya tentang segala hal
yang tampak baru bagi mereka. Untuk itu dibutuhkan kesabaran orangtua
untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan mereka. adalah kurang
bijaksana jika orangtua menanggapi pertanyaan anak dengan mengatakan;
"Sudah, kamu anak kecil nggak usah tanya-tanya, bawel amat, sih, "atau;
"Kamu masih kecil, nanti sudah besar juga akan tahu sendiri." Dalam hal
ini orangtua sebenarnya sedang mematikan rasa ingin tahu anak. Padahal
rasa ingin tahu ini adalah hal yang sangat penting dalam proses belajar.
Ada orangtua yang beraksi dengan cara lain, yaitu
dengan tidak menghiraukan atau mendiamkan anak, atau hanya menjawab
seadanya agar anak segera berhenti bertanya. Pola asuh yang demikian
tentu tidak mendukung metoda CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang
berusaha diterapkan di sekolah-sekolah sekarang ini. Sadar atau tidak,
pola asuh orangtua atau cara guru mengajar memiliki andil dalam
membentuk anak-anak kita menjadi aktif atau pasif. Bagi anak, bertanya
merupakan modal dasar mereka untuk belajar.
Selain itu, anak juga banyak belajar dengan cara
meniru orang dewasa. Mereka mencontoh orang dewasa dengan melihat dan
mengamati, atau dengan mendengar. Karena itulah, kita tidak usah heran
mendengar anak kita tiba-tiba mengucapkan kata-kata makian atau kata
kasar yang tidak pernah kita ajarkan. Mungkin mereka mendengar makian
itu dari pembantu, dari televisi, atau dari kita sendiri. Saat anak
mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, saat itu juga orangtua perlu
memberi penjelasan tentang arti kata-kata tersebut beserta dampaknya dan
berusaha mengoreksinya.
Usia Efektif Belajar.
Kapan waktu yang paling tepat bagi seorang anak untuk
belajar secara optimal? Teori perkembangan kognitif Piaget memberi
penekanan pada faktor kematangan atau kesiapan dalam belajar, artinya
ada masanya bagi seorang anak untuk belajar sesuatu. Sebab itu adalah
sia-sia jika kita mengajarkan sesuatu kepada anak sebelum waktunya.
Misalnya, anak yang belum memasuki tahap perkembangan kognitif
praoperasional (2-7 tahun) umumnya masih akan mengalami kesulitan dalam
belajar bahasa karena belum mampu menggunakan simbol-simbol. Oleh karena
itu, penganut teori Piaget berpendapat bahwa adalah sia-sia mengajar
bahasa (di luar bahasa ibu) kepada anak usia di bawah lima tahun.
Namun belakangan ini berkembang teori belajar yang
bisa kita baca dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century oleh
Colin Rose dan Malcolm J. Nitcholl, yang mengatakan bahwa sejak lahir
sampai dengan usia 10 tahun adalah masa-masa yang sangat penting dan
peka bagi anak untuk belajar. Disebutkan bahwa 50% kemampuan belajar
anak dikembangkan pada masa empat tahun pertama, 30% dikembangkan
menjelang ulang tahunnya yang ke-8, dan tahun-tahun yang amat penting
tersebut merupakan landasan atau penentu bagi semua proses belajarnya di
masa depan.
Berdasarkan teori tersebut, anak perlu diberi banyak
rangsangan pada masa empat tahun pertama agar ia belajar dan menyerap
banyak hal. Tahun-tahun pertama inilah yang justru merupakan saat tepat
dan ideal bagi anak untuk belajar lebih dari satu bahasa. Dikatakan juga
bahwa semua anak sebenarnya jenius di bidang bahasa. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa saat terbaik untuk mengembangkan kemampuan belajar
adalah sebelum masuk sekolah, karena sebagian besar jalur penting di
otak dibentuk pada tahun-tahun awal tersebut. Dalam hal ini, orangtua
memegang peranan sangat penting dalam meletakkan fondasi bagi
pengembangan kemampuan belajar anak.