Tuesday, December 16, 2014

Media Belajar Menyenangkan dengan Realitas Tertambah

Media Belajar Menyenangkan dengan Realitas Tertambah



Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membuat segala urusan rumit jadi mudah, termasuk dalam dunia pendidikan. Kita sering mendengar keluhan orangtua yang repot menjawab pertanyaan anak-anaknya di usia Sekolah Dasar seputar bilangan pecahan atau menghitung jaring-jaring bangun ruang. Atau, membayangkan bumi dan planet-planet dalam sistem tata surya yang mahaluas.
Tak hanya orangtua, kadang para Guru sendiri masih ada yang kebingungan menjelaskan reaksi antara unsur-unsur kimia. Bahkan, praktek dalam laboratorium kimia juga belum sepenuhnya memuaskan pemahaman siswa tentang proses kimiawi kompleks, seperti reaksi oksidasi dan reduksi. Akibatnya, para siswa perlu penjelasan berulang-ulang untuk memahami suatu persoalan, dan butuh waktu lebih lama untuk menjawab masalah yang diajukan. Lebih buruk lagi, para siswa mengalami kelelahan dan kejenuhan dalam belajar sains, sehingga membunuh potensi untuk melakukan inovasi di kemudian hari.
"Semua kendala itu sekarang bisa diatasi dengan Augmented Reality/AR (realitas tertambah). Yakni, teknologi untuk menambahkan benda maya ke dalam lingkungan nyata secara interaktif pada waktu itu juga (real time)," papar Lusi Endang, Direktur Pendidikan Sekolah di STT Terpadu Nurul Fikri. Teknologi yang biasa dipakai untuk permainan (game) dan simulasi militer atau ruang angkasa kini telah dikembangkan sebagai alat bantu proses belajar-mengajar. Sebut saja, namanya Virtual Media Content (VMC).
Dengan dukungan VMC, proses belajar jadi menyenangkan dan tidak lagi memusingkan kepala siswa. Bahkan, kreativitas dan inovasi siswa dapat dipompa sejak dini karena mereka berinteraksi langsung dengan topik yang paling abstrak sekalipun. Hal itu, tentu saja akan mempermudah tugas para Guru, sebab mereka hanya memberi stimulus kepada siswa untuk belajar secara mandiri. Terlebih lagi, untuk siswa yang super aktif atau berwatak kinestesis, maka VMC akan menyalurkan energi dan keingintahuan yang meluap.
Saat ini perangkat lunak VMC memang masih mahal dan diimpor dari mancanegara. Belum ada program open source yang lengkap dan mudah diakses publik. "Namun, Direktorat Pendidikan Sekolah STT Terpadu Nurul Fikri berupaya menjembatani kelangkaan itu dengan mempersiapkan modul dan pelatihan bagi para guru," jelas Lusi yang telah menerbitkan sejumlah buku ajar TIK. Fasilitas VMC terdiri dari Modul Builder untuk merancang modul pembelajaran sesuai Recana Program Pembelajaran yang disusun para Guru. Lalu, Paddle dibuat bervariasi sesuai modul yang dirancang dan dapat berinteraksi.
Sejumlah modul telah tersedia. Mulai dari Matematika Dasar, Sains Hayati, Geografi hingga Kimia Dasar. Topiknya masih sangat terbatas dan belum memenuhi kurikulum terkini. Kreativitas Guru diperlukan, termasuk dukungan kreator dan ahli TIK. Untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar dengan pemanfaatan TIK, maka Dinas Pendidikan Kota Depok melaksanakan rapat koordinasi rutin yang mengundang Kepala Sekolah serta perwakilan Guru.
Kepala Dinas Pendidikan Pemko Depok, Drs. Herry Pansila, menyambut baik usulan DPS STT Terpadu Nurul Fikri agar dipertimbangkan pemanfaatan VMC. "Kami beri kesempatan untuk berdialog dengan para Kepsek dan Guru dari tingkat SD (11), SMP (19), dan SMA/SMK (16)," ujar Kadisdik. Semoga kerjasama kongkrit dapat terwujud dan prestasi siswa di Depok semakin meroket. Karena belajar dan berprestasi itu sungguh menyenangkan.

Belajar Kerjasama

Belajar Kerjasama, Sungguh Menyenangkan

Apakah itu kerja sama? Kerja sama artinya bekerja bersama-sama. Manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri.
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Sebagai makhluk sosial, kita memiliki tetangga. Kita harus hidup rukun dengan tetangga. Kita perlu melakukan kerja sama. Kerja sama dapat dilakukan dalam bentuk kerja bakti. Dengan bekerja sama, semua pekerjaan berat menjadi ringan. Pekerjaan juga menjadi cepat selesai.
Manusia adalah makhluk sosial. Artinya, manusia suka bergaul. Kita membutuhkan orang lain. Kita tidak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan teman. Di sekolah, anak-anak memiliki teman. Di rumah, kita memiliki saudara. Di lingkungan rumah, kita memiliki tetangga. Setiap tetangga memiliki perbedaan.
Berasal dari suku yang berbeda. Adatnya berbeda. Agamanya juga berbeda. Walaupun berbeda, tetapi tetap bersatu. Kita harus hidup rukun dengan tetangga. Hidup rukun membuat keadaan nyaman. Dengan tetangga harus saling menghormati. Dengan tetangga juga harus saling menghargai. Bagaimana mengajarkan kerja sama? Hmmm….
_Mengajarkan Kerjasama_01 _Mengajarkan Kerjasama_02
_Mengajarkan Kerjasama_03 _Mengajarkan Kerjasama_04

Monday, December 15, 2014

Belajar yang Menyenangkan

Belajar yang Menyenangkan

Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar.
"Belajar lagi, belajar lagi........bosan ahh.......!", gerutu sebagian besar anak-anak saat disuruh belajar. Biasanya mereka juga tidak langsung menurut bila disuruh belajar, tapi berusaha menghindar dengan berbagai alasan. Mereka lebih tertarik untuk bermain atau menonton Doraemon atau mengikuti berbagai kegiatan lain daripada harus belajar. Bukan hanya ini saja kesulitan yang dihadapi orangtua. Sejak pagi hari orangtua sudah cukup dibuat repot saat membangunkan anak-anak untuk sekolah, tugas yang barangkali lebih sulit daripada pekerjaan di kantor.
Saya ingat pengalaman saya sendiri semasih kecil dulu, orangtua harus membangunkan saya berulang kali hingga saya benar-benar beranjak dari tempat tidur. Karena harus mengantri kamar mandi, sambil menunggu biasanya saya tertidur lagi. Kadang-kadang dalam keadaan baru bangun kesadaran masih belum penuh sehingga gerakan pun serba lambat, sedangkan ibu dalam kepanikannya harus mengurus banyak hal, seperti menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anak-anak serta berbagai hal kecil lainnya. Harus diakui bahwa tugas membangunkan anak untuk sekolah paling banyak menyita waktu, energi, dan emosi orangtua.
Selain pengamatan umum tentang ketidaksukaan anak terhadap kegiatan belajar ini, ada pula dukungan survai yang dilakukan oleh Tony Buzan. Tiga puluh tahun lamanya ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu ditanyakan kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata "pendidikan" atau "belajar", jawabannya adalah "membosankan", "ujian", "pekerjaan rumah", "buang-buang waktu", "hukuman", tidak relevan", "tahanan", 'idih'....., "benci dan takut".
Dapat disimpulkan bahwa belajar dan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum cukup umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka juga senang menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum mengerti isinya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak-anak kita ini? Apakah karena belajar telah menjadi semacam pemaksaan dan beban saat anak mulai bersekolah sehingga keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang?
Apakah Belajar Itu?
Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Kita perlu memperluas pemahaman tentang belajar tidak hanya pada pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ada empat area yang disentuh berkenaan dengan belajar yaitu:
  1. Citra diri dan perkembangan kepribadian
  2. Latihan keterampilan hidup
  3. Cara berpikir atau pola pikir
  4. Kompetensi atau kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik.
Selain itu ada satu area lagi yang menurut penulis sangat penting yaitu area yang bersifat rohani, yang menyangkut pengenalan seseorang terhadap Tuhan.
Tony Buzan, seorang psikolog dari Inggris, mengatakan demikian; "Pada saat seorang anak dilahirkan, ia sebetulnya benar-benar brilian." Sebab itu, adalah salah jika orangtua beranggapan anaknya bodoh. Bila ia dikatakan bodoh, maka kemungkinan ia akan menjadi bodoh. Saran yang diberikan adalah agar anak mendapatkan sebanyak mungkin latihan fisik yang menggunakan tangan dan kaki seperti merangkak, memanjat, dan sebagainya. Orangtua perlu memberi kesempatan pada anak-anak untuk belajar dari kesalaha, yaitu melalui trial and error (coba-salah). Anak-anak suka bereksperimen, mencipta, dan mencari tahu cara bekerjanya sesuatu. Mereka juga suka pada tantangan. Sebab itu penting bagi orangtua untuk memperluas dunia anak mereka, tidak terbatas hanya di rumah saja.
Anak-anak juga cenderung bertanya tentang segala hal yang tampak baru bagi mereka. Untuk itu dibutuhkan kesabaran orangtua untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan mereka. adalah kurang bijaksana jika orangtua menanggapi pertanyaan anak dengan mengatakan; "Sudah, kamu anak kecil nggak usah tanya-tanya, bawel amat, sih, "atau; "Kamu masih kecil, nanti sudah besar juga akan tahu sendiri." Dalam hal ini orangtua sebenarnya sedang mematikan rasa ingin tahu anak. Padahal rasa ingin tahu ini adalah hal yang sangat penting dalam proses belajar.
Ada orangtua yang beraksi dengan cara lain, yaitu dengan tidak menghiraukan atau mendiamkan anak, atau hanya menjawab seadanya agar anak segera berhenti bertanya. Pola asuh yang demikian tentu tidak mendukung metoda CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang berusaha diterapkan di sekolah-sekolah sekarang ini. Sadar atau tidak, pola asuh orangtua atau cara guru mengajar memiliki andil dalam membentuk anak-anak kita menjadi aktif atau pasif. Bagi anak, bertanya merupakan modal dasar mereka untuk belajar.
Selain itu, anak juga banyak belajar dengan cara meniru orang dewasa. Mereka mencontoh orang dewasa dengan melihat dan mengamati, atau dengan mendengar. Karena itulah, kita tidak usah heran mendengar anak kita tiba-tiba mengucapkan kata-kata makian atau kata kasar yang tidak pernah kita ajarkan. Mungkin mereka mendengar makian itu dari pembantu, dari televisi, atau dari kita sendiri. Saat anak mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, saat itu juga orangtua perlu memberi penjelasan tentang arti kata-kata tersebut beserta dampaknya dan berusaha mengoreksinya.
Usia Efektif Belajar.
Kapan waktu yang paling tepat bagi seorang anak untuk belajar secara optimal? Teori perkembangan kognitif Piaget memberi penekanan pada faktor kematangan atau kesiapan dalam belajar, artinya ada masanya bagi seorang anak untuk belajar sesuatu. Sebab itu adalah sia-sia jika kita mengajarkan sesuatu kepada anak sebelum waktunya. Misalnya, anak yang belum memasuki tahap perkembangan kognitif praoperasional (2-7 tahun) umumnya masih akan mengalami kesulitan dalam belajar bahasa karena belum mampu menggunakan simbol-simbol. Oleh karena itu, penganut teori Piaget berpendapat bahwa adalah sia-sia mengajar bahasa (di luar bahasa ibu) kepada anak usia di bawah lima tahun.
Namun belakangan ini berkembang teori belajar yang bisa kita baca dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century oleh Colin Rose dan Malcolm J. Nitcholl, yang mengatakan bahwa sejak lahir sampai dengan usia 10 tahun adalah masa-masa yang sangat penting dan peka bagi anak untuk belajar. Disebutkan bahwa 50% kemampuan belajar anak dikembangkan pada masa empat tahun pertama, 30% dikembangkan menjelang ulang tahunnya yang ke-8, dan tahun-tahun yang amat penting tersebut merupakan landasan atau penentu bagi semua proses belajarnya di masa depan.
Berdasarkan teori tersebut, anak perlu diberi banyak rangsangan pada masa empat tahun pertama agar ia belajar dan menyerap banyak hal. Tahun-tahun pertama inilah yang justru merupakan saat tepat dan ideal bagi anak untuk belajar lebih dari satu bahasa. Dikatakan juga bahwa semua anak sebenarnya jenius di bidang bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa saat terbaik untuk mengembangkan kemampuan belajar adalah sebelum masuk sekolah, karena sebagian besar jalur penting di otak dibentuk pada tahun-tahun awal tersebut. Dalam hal ini, orangtua memegang peranan sangat penting dalam meletakkan fondasi bagi pengembangan kemampuan belajar anak.